Tuesday, September 11, 2012

kemana nasionalisme kita?

Menumbuhkan kembali nasionalisme pada generasi muda sangat penting dilakukan saat ini. Bahkan ini dirasakan sangat mendesak.Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa telah terjadi kelunturan rasa nasionalisme pada anak-anak muda. Secara kasat mata bisa kita lihat, anak-anak sekarang lebih mudah dan lebih suka menyerap serta meniru nilai-nilai, gaya hidup, dan segala macam atribut dari budaya bangsa lain – terumata barat – dibandingkan mencintai dan memelihara nilai-nilai budaya bangsanya sendiri. 

Anak-anak muda berlomba mengadopsi perilaku atau pola pikir bangsa lain sambil secara perlahan tapi pasti melupakan keluruhan budaya lokal. Ini sungguh sangat mengkhawatirkan! Jangan-jangan kita akan menjadi bangsa yang kehilangan jati diri. Kita akan menjadi bangsa tanpa akar, ahistoris, lupa siapa diri kita dan mau kemana.
Anak muda harus diselamatkan dari kecenderungan lebih menghargai dan memandang lebih tinggi budaya asing dibanding budaya sendiri. Mereka harus digugah kesadarannya bahwa budaya bangsa sendiri tak kalah kaya, tak kalah eksotis, tak kalah menggetarkan dibanding budaya lain di dunia. Bahkan budaya bangsa sendiri, budaya bangsa Indonesia, adalah penyemarak, penambah warna dan memperkaya kebudayaan dunia. Dari sisi ini jelas, budaya bangsa harus lestari, dipelihara, dan dipertahankan eksistensinya.
Dari segi perjalanan sejarah, bangsa kita telah menjalani perjalangan panjang dari sejak jaman bahari, jaman kerajaan kecil dan besar, sampai merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dalam setiap episode sejarah tersebut terkandung nilai-nilai yang bisa menumbuhkan rasa bangga, kagum, nilai-nilai heroisme yang tak kalah dibanding bangsa lain. Sungguh tak ada alasan untuk lebih mencintai atau menggandrungi bangsa lain.
Jika hari ini anak muda kita lebih gandrung pada gaya hidup dan budaya bangsa lain, mungkin ada yang salah dalam pola pendidikan kita. Pendidikan kurang berhasil untuk menggiring anak didik dalam menggali dan mengenali kejeniusan lokal yang terkandung dalam budaya sendiri. ‘Tak kenal maka tak sayang’ demikian kata pepatah. Karena kurangnya eksplorasi, kurangnya pengkajian yang mendalam, membuat anak didik kita kurang mengenal kekayaan khasanah budayanya sendiri.
Salah satu mata pelajaran di sekolah yang kita andalkan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pada anak didik adalah pelajaran sejarah. Tapi sejauh mana mata pelajaran tersebut mampu mencapai apa yang kita inginkan? Dimana letak kesalahannya? Bukankah saat ini hampir bisa dikatakan bahwa anak didik kita cenderung buta sejarah?
Selain itu, kita sadari bahwa makin kurang pelajaran di sekolah memiliki muatan nilai-nilai bangsa sendiri. Dengan semangat globalisasi, kurikulum sekolah diberati materi iptek tanpa memasukkan nilai-nilai kearifan lokal.
Dunia pendidikan kita seperti program kejar tayang yang hendak mengejar kelayakan untuk berkecimpung dalam arus globalisasi sambil mempreteli pelajaran yang kaya nilai-nilai budaya lokal yang penting bagi tumbuh kembang anak didik.
Selain dengan pendidikan yang baik, nasionalisme juga harus dibangun melalui keteladanan orang tua. Nasionalisme tidak bisa dibangun hanya diatas retorika dan basa-basi belaka. Ini menuntut kita, para orang tua, untuk memberi contoh yang baik bagi anak didik kita. Anak-anak memang peniru yang baik bagi perilaku kita sebagai orang tua. Jangan salahkan anak didik kita atau anak-anak kita jika mereka lebih memilih yang datang dari luar. Bukankah sudah sejak dini kita mengajarkan mereka mencintai produk-produk luar negeri dibanding produk dalam negeri? Sebagai contoh: sudah sejak dini anak-anak diajari mencintai makanan seperti KFC, Dunkin Donats, Cocacola, dan sebagainya (maaf menyebut merk).
Keteladanan yang lebih penting lagi adalah keteladanan para tokoh. Yang dimaksud tokoh disini adalah orang-orang penting, public figure seperti para pejabat atau orang-orang dipemerintahan. Jika perilaku mereka tetap seperti yang kita saksikan saat ini dengan gaya hidup dan perilaku yang hedonis; korup; mementingkan diri sendiri dan mengesampingkan kepentingan rakyat dan negara; suka pelesiran ke luar negeri dengan menghambur-hamburkan uang negara; lebih membela kepentingan asing dibanding kepentingan bangsa sendiri, bagaimana mungkin akan tumbuh rasa nasionalisme pada warga negara; terutama anak muda? Jika para pejabat menunjukkan rasa cinta tanah air yang kuat dan nasionalisme yang baik, pasti akan diikuti oleh warga negara yang lain.
Yang terakhir dan yang tak kalah pentingnya adalah: jangan biarkan terus kekayaan alam, budaya, manusia Indonesia dijual atau digadaikan ke pihak asing. Kekayaan-kekayaan tersebut seharusnya dapat kita gali dan olah sendiri untuk kepentingan bangsa dan negara sendiri. Selama ini banyak kekayaan alam negara kita yang dikeruk, dikuras, dan dirampok perusahaan-perusahaan asing yang tentu saja atas persetujuan para pejabat negara. Pihak-pihak asing tersebut tentulah mendapat keuntungan luar biasa besar dalam usahanya mengeksploitasi kekayaan alam kita tersebut. Jika tidak, jika tidak karena keuntungan besar, tentulah mereka tidak akan mau melakukan usaha penggalian dan pengolahan segala kekayaan alam tersebut. Selama ini para pejabat selalu berkilah bahwa perusahaan-perusahaan asing tersebut hanya beroleh prosentase keuntungan yang kecil. Tidak masuk akal! Tak mungkin peruhaan-perusahaan tersebut menjadi perusahaan-perusahaan raksasa yang menggurita jika bukan karena keuntungan besar yang selama ini mereka dapatkan. Satu hal pasti, kekayaan alam kita telah memberikan kekayaan luar biasa bagi pihak asing (negara-negara maju) sementara rakyat Indonesia, pemilik kekayaan tersebut, tetap miskin dan sengsara. Yang kaya, negara-negara adidaya dan para pejabat negara (berkat berbagai komisi, tentunya). Rakyat tetap melarat adanya. Dengan ketakadilan semacam itu, masihkah dimungkinkan akan tumbuh rasa nasionalisme pada warga negara (termasuk anak muda)?
Ketakadilan menumbuhkan rasa kecewa dan rasa tak percaya. Kekecewaan yang tidak diakomodasi oleh pemerintah akan menimbulkan apatisme. Nasionalismepun dianggap sepi; dan apakah masih perlu? Dijaman dimana hidup orang mementingkan diri sendiri, dan slogan-slogan cinta tanah air hanya basa-basi, masihkah diperlukan apa yang kita sebut nasionalisme?


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment