Menumbuhkan
kembali nasionalisme pada generasi muda sangat penting dilakukan saat ini. Bahkan
ini dirasakan sangat mendesak.Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa telah terjadi kelunturan rasa nasionalisme pada
anak-anak muda. Secara kasat mata bisa kita lihat, anak-anak sekarang lebih
mudah dan lebih suka menyerap serta meniru nilai-nilai, gaya hidup, dan segala
macam atribut dari budaya bangsa lain – terumata barat – dibandingkan mencintai
dan memelihara nilai-nilai budaya bangsanya sendiri.
Anak-anak muda berlomba
mengadopsi perilaku atau pola pikir bangsa lain sambil secara perlahan tapi
pasti melupakan keluruhan budaya lokal. Ini sungguh sangat mengkhawatirkan! Jangan-jangan
kita akan menjadi bangsa yang kehilangan jati diri. Kita akan menjadi bangsa
tanpa akar, ahistoris, lupa siapa diri kita dan mau kemana.
Anak muda harus diselamatkan
dari kecenderungan lebih menghargai dan memandang lebih tinggi budaya asing
dibanding budaya sendiri. Mereka harus digugah kesadarannya bahwa budaya bangsa
sendiri tak kalah kaya, tak kalah eksotis, tak kalah menggetarkan dibanding
budaya lain di dunia. Bahkan budaya bangsa sendiri, budaya bangsa Indonesia,
adalah penyemarak, penambah warna dan memperkaya kebudayaan dunia. Dari sisi
ini jelas, budaya bangsa harus lestari, dipelihara, dan dipertahankan
eksistensinya.
Dari segi perjalanan sejarah,
bangsa kita telah menjalani perjalangan panjang dari sejak jaman bahari, jaman
kerajaan kecil dan besar, sampai merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dalam
setiap episode sejarah tersebut terkandung nilai-nilai yang bisa menumbuhkan
rasa bangga, kagum, nilai-nilai heroisme yang tak kalah dibanding bangsa lain.
Sungguh tak ada alasan untuk lebih
mencintai atau menggandrungi bangsa lain.
Jika hari ini anak muda kita
lebih gandrung pada gaya hidup dan budaya bangsa lain, mungkin ada yang salah
dalam pola pendidikan kita. Pendidikan kurang berhasil untuk menggiring anak
didik dalam menggali dan mengenali kejeniusan lokal yang terkandung dalam
budaya sendiri. ‘Tak kenal maka tak sayang’ demikian kata pepatah. Karena
kurangnya eksplorasi, kurangnya pengkajian yang mendalam, membuat anak didik
kita kurang mengenal kekayaan khasanah budayanya sendiri.
Salah satu mata pelajaran di
sekolah yang kita andalkan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pada anak didik
adalah pelajaran sejarah. Tapi sejauh mana mata pelajaran tersebut mampu
mencapai apa yang kita inginkan? Dimana letak kesalahannya? Bukankah saat ini
hampir bisa dikatakan bahwa anak didik kita cenderung buta sejarah?
Selain itu, kita sadari bahwa
makin kurang pelajaran di sekolah memiliki muatan nilai-nilai bangsa sendiri.
Dengan semangat globalisasi, kurikulum sekolah diberati materi iptek tanpa
memasukkan nilai-nilai kearifan lokal.
Dunia pendidikan kita seperti
program kejar tayang yang hendak mengejar kelayakan untuk berkecimpung dalam
arus globalisasi sambil mempreteli pelajaran yang kaya nilai-nilai budaya lokal
yang penting bagi tumbuh kembang anak didik.
Selain dengan pendidikan yang
baik, nasionalisme juga harus dibangun melalui keteladanan orang tua.
Nasionalisme tidak bisa dibangun hanya diatas retorika dan basa-basi belaka.
Ini menuntut kita, para orang tua, untuk memberi contoh yang baik bagi anak
didik kita. Anak-anak memang peniru yang baik bagi perilaku kita sebagai orang
tua. Jangan salahkan anak didik kita atau anak-anak kita jika mereka lebih
memilih yang datang dari luar. Bukankah sudah sejak dini kita mengajarkan
mereka mencintai produk-produk luar negeri dibanding produk dalam negeri?
Sebagai contoh: sudah sejak dini anak-anak diajari mencintai makanan seperti
KFC, Dunkin Donats, Cocacola, dan sebagainya (maaf menyebut merk).
Keteladanan yang lebih penting
lagi adalah keteladanan para tokoh. Yang dimaksud tokoh disini adalah
orang-orang penting, public figure seperti para pejabat atau orang-orang
dipemerintahan. Jika perilaku mereka tetap seperti yang kita saksikan saat ini
dengan gaya hidup dan perilaku yang hedonis; korup; mementingkan diri sendiri
dan mengesampingkan kepentingan rakyat dan negara; suka pelesiran ke luar
negeri dengan menghambur-hamburkan uang negara; lebih membela kepentingan asing
dibanding kepentingan bangsa sendiri, bagaimana mungkin akan tumbuh rasa
nasionalisme pada warga negara; terutama anak muda? Jika para pejabat
menunjukkan rasa cinta tanah air yang kuat dan nasionalisme yang baik, pasti
akan diikuti oleh warga negara yang lain.
Yang terakhir dan yang tak kalah
pentingnya adalah: jangan biarkan terus kekayaan alam, budaya, manusia
Indonesia dijual atau digadaikan ke pihak asing. Kekayaan-kekayaan tersebut
seharusnya dapat kita gali dan olah sendiri untuk kepentingan bangsa dan negara
sendiri. Selama ini banyak kekayaan alam negara kita yang dikeruk, dikuras, dan
dirampok perusahaan-perusahaan asing yang tentu saja atas persetujuan para
pejabat negara. Pihak-pihak asing tersebut tentulah mendapat keuntungan luar
biasa besar dalam usahanya mengeksploitasi kekayaan alam kita tersebut. Jika
tidak, jika tidak karena keuntungan besar, tentulah mereka tidak akan mau
melakukan usaha penggalian dan pengolahan segala kekayaan alam tersebut. Selama
ini para pejabat selalu berkilah bahwa perusahaan-perusahaan asing tersebut
hanya beroleh prosentase keuntungan yang kecil. Tidak masuk akal! Tak mungkin
peruhaan-perusahaan tersebut menjadi perusahaan-perusahaan raksasa yang
menggurita jika bukan karena keuntungan besar yang selama ini mereka dapatkan.
Satu hal pasti, kekayaan alam kita telah memberikan kekayaan luar biasa bagi
pihak asing (negara-negara maju) sementara rakyat Indonesia, pemilik kekayaan
tersebut, tetap miskin dan sengsara. Yang kaya, negara-negara adidaya dan para
pejabat negara (berkat berbagai komisi, tentunya). Rakyat tetap melarat adanya.
Dengan ketakadilan semacam itu, masihkah dimungkinkan akan tumbuh rasa
nasionalisme pada warga negara (termasuk anak muda)?
Ketakadilan menumbuhkan rasa kecewa dan rasa tak
percaya. Kekecewaan yang tidak diakomodasi oleh pemerintah akan menimbulkan
apatisme. Nasionalismepun dianggap sepi; dan apakah masih perlu? Dijaman dimana
hidup orang mementingkan diri sendiri, dan slogan-slogan cinta tanah air hanya
basa-basi, masihkah diperlukan apa yang kita sebut nasionalisme?
No comments:
Post a Comment